Setiap hari adalah malam, dan segala yang terjadi di Surabaya hanyalah sekedar mimpi-mimpi buruk lainnya
Aku selalu merasa dunia ini akan tenggelam karena hal-hal bodoh kreasi manusia sendiri. Misal karena gaya hidup manusia yang konsumer dan ignorance selama ini tanpa sengaja memaksa kupu-kupu bermutasi. Tubuhnya berevolusi begitu pesat, sayapnya hitam pekat selebar lengan manusia dewasa, menembus atmosfer bersama jutaan kawananannya berhasil mengudap gurihnya cahaya matahari. Seringkali sayapnya terbakar dan menyebabkan hujan abu tipis mirip erupsi gunung vulkanik. Manusia membuat lelucon tentang kelakuan mereka yang cenderung seperti pasukan bunuh diri. Diksi “utopis” akan sering diucapkan di segala bentuk publikasi berita terkini. Sampai suatu hari manusia tak mendengarnya lagi. Seluruh belahan dunia sudah penuh akan abu, menutup akses terik matahari murni dan menggagalkan panen, hewan ternak mulai sakit dan mati, malam tak pernah jadi pagi lagi.
Seakan
bumi dikantongi keresek hitam lalu dilempar ke galaksi lain. Tak satupun bermaksud mencari.
Mungkin memang kita sudah hilang dari semesta. Peradaban usang tak pernah berhasil
diterka. Siklus
menjadi abadi seiring berakhirnya era
Setiap hari adalah malam, dan segala yang
terjadi di Surabaya hanyalah sekadar mimpi-mimpi buruk lainnya. Sayangnya,
dimensi waktu di mimpi jauh lebih lambat dari kenyataan. Empat semester serasa
seumur hidup. Saat aku terbangun, semua orang telah memiliki kehidupannya
masing-masing. Aku merasa seperti bocah enam tahun diumur 19, dan 60 tahun
diumur 23. Ini adalah mimpi buruk paling berharga.
Hampir
dua tahun yang lalu aku memutuskan bilang ke ibuk untuk drop out saja. Ketika
ibuk setuju, malah aku bingung harus memasang alasan apa saja ke orang-orang.
Ada yang kuberi alasan salah jurusan, ada alasan kalo aku ga mau disuruh-suruh klien,
ngga suka matkul umum fisika, macem-macem. Tapi yang sebenarnya terjadi,
masalahku terletak di alam bawah sadar, yang merupakan endapan dari
masalah-masalah di alam sadar yang ku sepelekan dan menganggap masalah tersebut
tak pernah ada. Padahal masalah yang di sangkal dan tidak diakui sebagai
masalah itu sendiri, tidak akan menghilangkan eksistensi masalah tsb. Ia hanya
berubah bentuk menjadi sesuatu yang lain, yang lebih kompleks dan susah
dikenali. Ia akan mengendap di alam bawah sadar. Menunggu kebaradaannya
disadari.
Awal
mula, aku sudah terlalu excited dengan jurusanku DKV yang menurutku ‘aku’
banget. Kesalahanku dari awal, aku tidak cari tahu lebih jauh soal seluk beluk jurusanku
di ITS, jadi kupikir aku akan punya cukup energi untuk beradaptasi dengan orang
asing seharian selama beberapa bulan kedepan dan menjalani ospek di bentakin
kating, ngerjain tugas kuliah dan ospek sampe pagi. Awalnya bagiku itu tidak
akan jadi masalah. Masalahnya aku masuk kuliah dalam keadaan mental yang tidak
baik-baik saja sejak awal. Baru masuk aku sudah mudah lelah, mudah marah. Ospek
jurusan yang setahun lamanya itu tidak kulalui serutin teman-temanku, karena
itu benar-benar menyedot energiku habis-habisan. Itu mebuatku merasa
dikucilkan, yang semakin menumbuhkan kecemasan di jiwaku. Itu juga yang
membuatku menjalani perkuliahan apa adanya, yang selanjutnya menyuburkan
episode depresifku.
Namun
kebetulan keadaan imanku sedang tinggi-tingginya. Daripada mengakhiri hidup,
aku lebih mendambakan perjalanan waktu ke andalusia jaman bani abasiyah berkuasa,
ketika islam sedang jaya-jayanya. Aku bisa fokus menjadi siapapun yang kumau,
jadi sastrawan dan dokter yang paham agama misal, atau jadi filsuf atau
arsitek, aku bisa jadi apapun dengan fasilitas gratis negara, plus dengan
pikiran yang tenang karena taat syari’at. Impian itu terasa seperti impian
semua orang. Aku hanya akan ditertawakan karena ngewel nangis pengen time
travel. Tapi sebenarnya itu bentuk keputusasaanku akan masa kini yang tidak terkontrol
dan kemungkinan-kemungkinan di masa depan yang berkabut.
Setiap ngampus kostumku bergamis dan kerudung
lebar menutup dada. Selain karena alasan spiritual, sebenarnya kerudung besar membuatku
terbebas dari stigma orang depresi. Mereka tidak akan kepikiran kalau aku sedang
tidak pakai bra dan mandi dua kali seminggu. Tapi seriusan, seminggu aku cuma
pakai dua buah gamis bergantian. Saat itu aku tidak kepikiran hal-hal penunjang
kehidupan. Makanpun tidak ada bedanya mau mahal atau murah, enak maupun tidak
enak, di lidahku hambar semua. Jadi setiap hari aku cuma makan nasi, sosis dan
bon cabe karena uangku sudah habis akan barang-barang tidak penting yang kubeli
secara impulsif.
Untuk
sementara iman masih bisa menopang tubuhku untuk sholat, kuliah, dan keluar
cari makan. Semuanya baik-baik saja sampai titik dimana aku kelelahan dan mulai
jarang kuliah apalagi kumpul ospek jurusan. Setiap kali teman angkatan dan
dosenku menanyakan keadaanku, teman kosku cuma bisa menjawab “inas lagi ngaji”.
Aku tahu kenapa, dulu pernah aku gamau kumpul karena di Islam gaboleh ikhtilat
(campur baur cowok cewek). Tapi yang sebenarnya terjadi aku sedang berlindung
dibalik syariat atas buruknya kemampuanku berinteraksi sosial. Aku baru sadar
ketika badanku lemas setengah mati ketika harus berinteraksi dengan orang asing
yang peremuan sekalipun.
Suatu
hari ada kating menanyakan ke mbak ngajiku, intinya apakah kajian ini melarang
kuliah karena ikhtilat? Buset, komunitasku
ikut rugi karena eksistensiku. Kumpul-kumpul kerja kelompok ospek memang kadang
ga selalu ngerjain tugas yang bikin kegiatan tersebut bisa di cap sebagai ikhtilat,
namun bidang pendidikan seperti ajar mengajar termasuk campur baur yang
diperbolehkan dalam Islam. Seorang mbak-mbak ngaji waktu itu mau effort menjelaskan
keadaanku yang sebenarnya ke mereka, tapi rasa bersalahku tidak bisa hilang dan
semakin menjadi jadi. Aku adalah beban semua orang. Aku adalah beban untuk
orang tuaku, beban mbak masku, beban teman sejurusan, teman kos, teman ngaji,
teman dekat, bahkan eksistensi tubuhku sendiri adalah beban bagi jiwaku. Self
esteemku kian memburuk di tiap detik bumi berotasi.
Alir
kran di tempat cuci baju lantai tiga kosku memang debit airnya kecil sekali.
Untuk mengisi satu ember penuh saja butuh menunggu 15 menit. Jadi kuhabiskan
waktu naik ke tandon air yang ketinggiannya sama seperti lantai keempat. Dari
situ aku bisa melihat pesawat datang dan pergi dari Juanda yang membuatku sadar
bahwa mbakku akan pergi sejauh itu rupanya, ke Jepang. Dulu mbakku adalah teman
paling dekatku, setidaknya bagiku. Sampai kehidupan pernikahan menyibukannya
dan komunikasi kami jadi bisa dihitung jari dalam setahun.
Siang
itu, sepulang dari syukuran pernikahan pihak keluarga mas iparku di Malang, di
mobil aku hanya bisa menangis karena meninggalkan mbakku di rumah mertua
barunya. Padahal aku sudah latihan untuk
hari itu. Bukannya berandai-andai yang buruk, hanya saja aku takut jika hari
itu datang sementara aku belum siap. Membayangkan mbakku pulang ke rumah selain
rumah bapak ibukku membuat dadaku berat. 3 Juli 2018, adalah pembukaan dari
hancurnya hidupku di kemudian hari.
Oktober
2018 Ma’e(nenek) meninggal. Skenario tentang “rumah kita akan kosong pada
akhirnya” membuatku ketakutan.
Perjalanan
pulang kampus selalu membawa ide-ide melankolis yang tidak seharusnya ada. Pernah
kubayangkan perjalanan itu menuju rumahku Ngawi. Sebelum motor terparkir di
garasi sudah kucium aroma wangi tempe goreng ibuk. Bapak sedang menyiram
tanaman hiasnya diteras, dan mungkin, mungkin mbakku sedang dirumah setelah
hari pernikahan itu, mungkin masku sedang kebetulan libur kerja. Mungkin Ma’e sedang
dikamarnya ditemani mbak asisten kami yang nyambi setrika baju. Mungkin
tetanggaku sedang memarahi anak-anaknya yang pulang terlalu larut dan lupa
mandi. Mungkin jika pulang aku bisa rileks sebentar saja, mengheningkan pikiran
yang selama ini berkecambuk tanpa ampun.
Faktanya
aku justru parkir di teras sebuah bangunan dua lantai kosanku.
Waktu
itu aku sudah jarang menyapa teman kos yang juga teman sekelasku, aku
benar-benar sudah tidak peduli akan apapun lagi kecuali ide-ide yang membuatku
tetap hidup seperti agama. Setiap hari kelelahan meskipun cuma kuliah umum dua
jam. Sepertinya semua orang marah karena aku tidak ikut ospek jurusan desain yang
satu tahun lamanya itu. Lagipula apa pentingnya? Aku paham tujuan ospek ini
agar semua pihak semakin akrab, tapi saat itu aku benar-benar muak dengan
metode yang tidak on point dan kuno dan aku juga sedang tidak mood menerima
segala bentuk kekerasan meskipun cuma verbal. Tidak perlu berteriak wahai
kating, angin berbisik menerpa kardus di sampingmu saja bagiku sudah bervolume
tinggi di kepala.
Pernah
suatu ketika aku masuk kelas, dan kecemasan berlebih membuatku berhalusinasi
bahwa semua orang sedang menghakimiku. Saat itu dosen tidak kunjung datang,
jadi tidak ada yang bisa menghentikan kegaduhan kelas. Suara mereka masuk ke
telingaku menjadi nada tinggi yang mencemooh. Mendengung keras, otot telingaku
menegang, rahang atas bawah merapat, saat itu aku hanya bisa menangis di bangku
paling belakang. Beberapa hari kemudian terpaksa harus ke dokter gigi karena
membuat rahangku benar-benar terkunci dan aku tidak bisa buka mulut terlalu lebar
untuk sekedar makan. See? menjaga tubuhku tetap menjalani aktifitas saja sudah
bersyukur. Ospek jurusan waktu itu benar-benar berhak disepelekan.
Umurku
sembilan belas ketika pertama kali memasuki bangku kuliah. Kukira aku akan
bebas dari aturan rumah. Ternyata itu masih berlangsung sampai kuliah. Ibuku
lebih mending menanyakan kabar dan kegiatanku kpd beberapa ibu dr temanku yang
aku tidak terlalu akrab. Itu benar-benar memperparah keadaanku dari berbagai
sisi. Semester pertama kuliah sama sekali tidak sukses. Aku bingung harus
bilang apa ke bapak ibuk. Mau bilang kalau aku selama ini sedang sedih
ditinggal mbakku ke Jepang? Sedih karena ma’e(nenek) meninggal? Sedih karena
membayangkan kalian berdua sendiri di rumah? Menurutku saat itu kesedihanku
hanya ku buat-buat dan dan sedang tidak punya masalah yang sebenarnya.
Jantungku baru terasa berkilo-kilo lebih berat ketika harus mengumumkan ke
bapak ibuk bahwa IPK pertamaku 1,78. Kidding, bukan aku yang kasih tahu mereka.
Ibuk akhirnya tahu sendiri dari orang tua temanku.
Saat
disidang bapak ibuk, aku lupa alasanku apa, tapi yang jelas bapak bilang
“kamu
ga bisa nyuruh dunia berotasi ke kamu, harusnya kamu yang berotasi thdp dunia
ini”.
Sampai
sekarang aku ngga pernah setuju dengan kalimat itu. I’m obsessed about how the
world works since I was born, remember? gak heran aku selalu punya hasrat
memisahkan diri dari sistem duniawi yang tidak pernah dimaksudkan untuk
menyejahterakan makhluk di dalamnya. Aku merasa jadi pihak yang paling dirugikan
karena aku selalu punya cara sendiri dalam melakukan apa pun. Sistem di
sekelilingku selalu tidak efektif dan melewatkan esensinya. Selalu tidak
bermakna, tidak ada poinnya, hanya menghabiskan waktuku.
Aku
memiliki masalah fokus yang cukup serius hingga setiap hari hidupku harus
berusaha dua kali lipat daripada orang pada umumnya untuk mencapai goals
sederhana yang setiap orang punya. Padahal segala tenaga sudah kuberikan khusus
untuk perkuliahan tapi tetap gagal.
Awal
2020 aku memutuskan drop out. Alasan sebenrnya adalah sesimpel karena aku
“depresi”. Tapi depresi sendiri terlalu kompleks untuk dijelaskan. Ketika harus
memperjelas alasanku drop out ke dosen, teman, orang tua, dan tetangga, penjelasannya
akan berbeda-beda kusesuaikan kepribadian mereka masing-masing. Tapi jujur, aku
ngga bohong. . Karena setiap kepribadian memiliki prioritas yang berbeda. Pada
dasarnya manusia sama saja. Ingin unggul dan dikenal di prioritas tertentu,
tapi juga pelupa dan buta di prioritas tertentu. Jadi kusesuaikan saja untuk
menghemat energi. Aku benar-benar butuh kabur.
Faktanya,
aku menikmati belajar DKV. Namun aku tetap tidak bisa menjamin aku akan tetap
disana kalaupun saat itu aku get help ke psikolog.
Bagaimana kalau kehidupan yang kujalani
selama ini, hanya akulah satu-satunya yang salah? Malam itu
Komentar
Posting Komentar