Rumah Asing

Sejauh ingatanku suara Surah Al-Furqon yang dibacakan Mishary Bin Rashid itu akan diputar keras-keras oleh satu-satunya masjid di perumahan kami sebelum sholat jum’at dimulai. Kedua kamar mandi kami biasanya penuh dipakai mas dan bapak buru-buru mandi mengejar waktu jum’atan. Saat itu aku masih umur sembilan. Ibu belum pulang mengajar. Nenekku di rumah ditemani Mbak Mar, asisten rumah tangga yang sudah sepuluh tahun membantu pekerjaan kami. Saat itu meskipun mbakku sekolah di luar kota tapi masih sering pulang. Masih mampu jadi teman baikku. 

Setiap Jum’at aku selalu kembali ke tahun 2018. Bacaan surah itu selalu menyeretku ke masa silam, pada masa setelah lulus SMA. Oh, kehangatan terakhir. Pelukan terakhir. Adu mulut terakhir. Selanjutnya aku tidak paham apakah kepergian mereka itu membebaskan atau menyengsarakan. Karena sebelum kepunahan demi kepunahan ini terjadi pun aku sudah dibuat sengsara dipaksa menyadari cara kerja dunia. Maksudku, cara kerja dunia menurut bapak. Setelah mendapat IPK pertamaku di jurusan desain bapak bilang “kamu seharusnya yang berotasi terhadap dunia! Bukan dunia yang kamu suruh berotasi kepadamu!” bapak bilang begitu karena IPK ku dibawah dua tapi masih merasa benar. Sampai sekarang aku masih merasa benar karena bisa bangkit tanpa nasihat-nasihat bapak. Justru untuk bangkit aku harus mencari remah-remah suara orang tuaku di kepala untuk bisa segera diredam.

Keuntungan satu sekolah dengan Ibu sendiri saat SMA adalah aku bisa minta uang saku di sekolah kalau-kalau dari rumah Ibu lupa kasih. Tetapi kerugiannya terlalu membekas salah satunya karena karakter ibuku yang reaktif mudah sekali diadudomba guru-guruku untuk membuatku terlihat lebih buruk daripada anak-anak lainnya. Semua orang setuju aku selalu hidup di kepala. Menciptakan masalahku sendiri. Masalah yang sebenarnya bisa ku hindari kalau bisa lebih kooperatif dengan aturan sekolah. Yah, beberapa kali mereka berhasil meyakinkanku kalau aku sudah rusak.

Kalau diingat-ingat, sebenarnya dulu bukannya aku ingin memberontak atau memulai konflik. Aku hanya berusaha mengkomunikasikan kebutuhanku dengan cara yang menurutku berhasil. Dan memang berhasil, hanya saja saat itu guru-guru dan orangtuaku selalu bereaksi berlebihan seperti anak baru gede. Jadi kami impas 1-1 untuk skor sama-sama labil.

Beberapa kali aku tidak mau hadir dikelas karena tidak tahan menatap kekosongan. Angka-angka lainnya dan lainnya dan lainnya yang tidak pernah bermakna apapun. Lalu mereka akan marah melihatku melamun. Ketika kuisi dengan menggambar mereka akan mengusirku. Pernah sesekali kutanyakan pada guru apa tujuan belajar matematika jawaban mereka “untuk SBMPTN”.

Aku cuma resah, aku marah mengapa tidak ada satupun yang mampu memberi tahuku tujuan penciptaan manusia di bumi ini. Kalau tidak tahu, setidaknya biarkan aku sendiri di perpustakaan untuk mencari tahu, aku rela mendapat nilai nol daripada menatap angka tak bermakna! Tidak tahukah mereka bahwa teman-temanku yang lain juga hanya pura-pura?

Pulang dari sekolah nanti akan ditambah lagi cercaan langsung dari Bapak Ibu. Aku terkadang heran apa kurangku. Aku pandai melukis, menang berbagai lomba, masih juara tiga pula di kelas, dan aku malas mengalami drama-drama percintaan remaja yang sering ditakutkan orangtua pada umumnya. Aku selalu dianggap memulai drama yang tidak perlu hanya karena caraku belajar tidak sesuai dengan cara mereka mengajari. Padahal dengan mereka tidak ikut campur perencanaan masa depanku saja aku sudah bersyukur sekali.

Aku berhasil masuk jurusan desain di salah satu institut yang kuinginkan. Berakhir harus mengundurkan diri setelah dua tahun menjalani perkuliahan. Ketakutan berlebih menggelayuti pundakku, begitu liar seperti ingin mencakar nadi di leherku. Aku tidak tahu kemana harus pulang bila rumahku nanti menjadi asing saat aku kembali.

Mengapa? Mengapa rak bukuku kontennya semakin tua? Kemana perginya orang-orang tua apabila aku sendiri telah semakin tua?

Seakan bumi dikantongi keresek hitam lalu dilempar ke galaksi lain. Tak satupun bermaksud mencari. Kita semua akan punah sebentar lagi.

Setiap Jum’at aku selalu kembali ke tahun 2018, masa setelah lulus SMA. Tahun dimana kesengsaraan dan nestapa yang kupendam selama bertahun-tahun akhirnya punya alasan juga untuk menampakkan diri. Karena saat itu, di tahun 2018, rumahku tiba-tiba kosong, ketakutan terbesar di hidupku telah terjadi. Aku tidak paham mana yang lebih sedih antara ditinggal mbakku menikah, bapak dan nenekku meninggal, melihat ibu yang harus sendiri, kucing tua yang menemaniku sejak SD akhirnya mati, atau sekedar karena rumah menjadi kosong. Semuanya terjadi bersamaan dan aku tak mampu memprosesnya bersamaan.

Awalnya, kukira ada yang salah dengan caraku merasakan hal. Rupanya adaptasi dengan dunia nyata memang sesulit itu.

Rumah yang asing bukan lagi rumah. Rumahku telah meledak berceceran di mana-mana. Menumbuhkan rumah lain di pundak sahabat-sahabatku, ada di pepohonan tua komplek yang lebih fasih bicara bahasaku daripada ibuku sendiri, rumahku ada diatas rerumputan lapang beratapkan langit cerah purnama, ketika menghirup basahnya udara hampir pagi. Rumahku ada di dalam buku-buku, kuadopsi sigmund freud sebagai bapakku, chairil anwar sebagai masku, John F. Kennedy sebagai ketua RT baruku. Sekarang aku telah menemukan rumah di dalam ruang jiwa dan pikiranku yang lebih luas daripada sekedar 20x43m2. Aku tidaklah kurang satupun. Sekedar aku sendiri saja cukup. Akulah rumahku.

Komentar