Memoar Semester Genap 2022


   Motorku melaju pelan membelah udara dingin yang datang tiba-tiba setelah seharian Kota Ngawi diperangkap udara panas. Panas yang pengap membuat semua orang ingin tantrum. Jalan Diponegoro memang selalu selengang ini. Kota Ngawi secara keseluruhan memang selalu lengang dibandingkan kota-kota lainnya. Saat aku SD jam delapan malam toko-toko mulai tutup, jalanan sepi, lampu merah tidak membuat kami berhenti. Mbakku yang sedang memboncengku naik motor akan membuka kaca helmnya, menoleh ke samping memastikan suaranya bisa kudengar, ia dengan lancar merinci ketertinggalan kota kelahiran kami selama perjalanan, dibandingkannya dengan Kota Malang tempatnya menempuh pendidikan sejak SMA sampai kuliah.

    Sekarang aku anak kuliahan yang melaju susuri jalanan Ngawi itu. Namun bedanya untuk bernostalgia masa-masa sunyi itu. Sudah jam delapan tapi makin banyak orang berdatangan. mereka hanya duduk di trotoar mengitari gerobak angkringan. Hal-hal yang beberapa tahun terakhir sempat dilarang karena pandemi virus. Sudah tiga tahun kami terbiasa dengan sepi. rumput lapangan alun-alun dibiarkan panjang, makin subur karena tidak pernah didirikan panggung dangdut lagi atau dipakai latihan sepak bola. Aku merasa amoral kalau merindukan masa-masa itu. Karena setiap dua hari sekali aku dan Geby akan kesana sekadar untuk diskusi MBTI, film, buku, apapun sambil tiduran diatas rumput, menikmati bau tanah, angin sore, dan es coklat. Disanalah kami merencanakan detil-detil langkah bagaimana caranya Geby bisa tinggal ke Jogja secepatnya dan meninggalkan Ngawi. Meninggalkan identitas yang dibuatkan lingkungannya, meninggalkan STKIP Modern dan dosen-dosennya yang ijazahnya palsu, dan rektornya yang korupsi dana KIP belum lagi pungli-pungli lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Geby meninggalkan orang-orang yang merendahkan harga dirinya, termasuk ibunya sendiri. Setiap jam sembilan ibuku akan menelpon karena sudah waktunya pulang. Kuantar Geby pulang namun tidak langsung belok ke gang rumahnya, kami akan memutari Jalan Diponegoro melewati Gerbang Benteng Van Den Bosch, belok ke arah Pasar Besar Ngawi lalu belok lagi ke Jalan Diponegoro. Sepanjnng berkendara menyanyikan tembang-tembang Aurora-penyanyi asal Norwegia yang akhir-akhir ini mengeluarkan album barunya "The God We Can Touch"

    Tiada hari tanpa memikirkan nasibnya. Untuk tidak membantunya adalah tindakan tercela dan merupakan pembunuhan potensi. Jelas semua orang punya potensi khususnya masing-masing, tapi hanya dia teman yang paling kupahami dan memahamiku, objek saviour complexku. Aku membantunya mencarikan universitas dari yang negeri sampai swasta, yang familiar sampai yang asing. Memikirkan pekerjaan apa yang bisa ia ambil untuk membayar tagihan UKT selama disana.

    Singkat cerita rencana kami berhasil semua. Meskipun kuliah masih online tapi kami sudah di Jogja, satu kamar kos. Aku UNY, dia UIN. Geby jauh dari ibunya, bertemu teman baru, bertemu dosen-dosen keren yang peduli. Hubungannya dengan Ayahnya membaik dan setuju untuk membantu biaya kuliahnya meskipun tidak yakin bisa sepenuhnya berkomitmen. Ibuku juga turut andil dalam pembiayaan jatah kos Geby. Pihakku membayar 3/4 dan Geby 1/4. Semuanya berjalan lancar untuk sementara. Sampai akhirnya saat liburan semester ganjil ( Geby semester 1) ia harus tinggal dengan Om nya di Sragen, cerita lengkapnya harus kutulis sendiri di seksi lain tentang Geby dan hidupnya. 

Memoar Semester Genap 2022 

- Ditulis Maret 2023

Komentar